ILMU KOPERASI
Pengertian
Koperasi Berdasarkan UUD Nomor 25 Tahun 1992 tentang PERKOPERASIAN, "Koperasi
adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan."
Ilmu Koperasi disini berorientasi
pada ilmu dan seni pemecahan masalah atau penerapan
analisis ilmu yang diharapkan memberikan sumbangan pada pemecahan permasalahan
koperasi di Indonesia. Dalam upaya ini dicoba digali sumbangan ilmu-ilmu sosial
di luar ekonomi seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu politik. Kami merasa
analisis antar disiplin ini belum sepenuhnya berhasil. Dalam keadaan
“ketidakberhasilan” ini dengan berat kami terpaksa kembali lagi pada ilmu
ekonomi.
Namun dalam upaya kembali ke ilmu
ekonomi ini kami berusaha keras menjauhi ekonomi-teknis ala ekonomi Neoklasik (ekonomi arus utama)
dan lebih mendekati ilmu ekonomi kelembagaan (social economics), yang
menurut pendapat kami jauh lebih mampu menganalisis permasalahan yang dihadapi
koperasi di Indonesia.
Perbedaan mendasar dari ilmu
ekonomi Neoklasik arus utama dan ekonomisosial (dan ekonomi moral) adalah bahwa yang
pertama lebih menekankan pada upaya produksi yaitu produksi barang dan jasa bagi
pemenuhan kebutuhan masyarakat sekarang, sedangkan ilmu ekonomi sosial
menekankan pada strategi reproduksi masyarakat yaitu bagaimana seluruh
masyarakat bekerja sama agar bisa bertahan hidup secara berkelanjutan.
Karena yang menjadi fokus perhatiannya bukan hanya aspek
ekonomi dari perilaku manusia dengan segala aspek kehidupannya (manusia
seutuhnya), maka analisisnya menyangkut tiga kategori berikut:
(1)
masalah-masalah sosial (yang mendesak);
(2) peranan dan tempat kehidupan
ekonomi dalam masyarakat (economy and Society);
(3)
stratifikasi sosial dan kekuasaan.
Dari ketiga kategori analisis ekonomi ini jelas bahwa
batas-batas ilmu ekonomi menjadi jauh lebih luas, melampaui batas-batasnya yang
konvensional. Dalam hubungan ini pernyataan tegas seorang “bapak” ilmu ekonomi
kelembagaan John Maurice Clark yang sangat kena memang kemudian dikutip di
mana-mana:
Jadi, mana batas-batas yang
benar dari ilmu ekonomi? Kecuali jika memang sudah secara otentik dan
meyakinkan ditegaskan dalam tulisan-tulisan yang tidak sempat saya baca, saya
merasa lebih baik tidak tinggal diam dalam “kurungan” batas-batas ilmu
konvensional, tetapi lebih baik terus mengejar instink alamiah kita dan terus
bertanya kemana pun arahnya, serta melakukan pekerjaan-pekerjaan apapun yang
belum tuntas dan kita merasa sanggup melakukannya.
“Tantangan” yang amat berani ini pertama kali dilontarkan
oleh J.M. Clark dalam bukunya Preface
to Social Economics yang
terbit pada tahun 1936, tahun yang sama dengan penerbitan J.M. Keynes, General Theory. Yang penting untuk dicatat tentang
buku Clark adalah, dibanding buku Keynes, ia lebih langsung dan lebih berani
“melawan” perkembangan ilmu ekonomi (economics, bukan lagipolitical economy)
yang cenderung semakin sempit dan semakin teknis sebagaimana didefinisikan oleh
Lionel Robbins tahun 1932. Keynes sendiri sering dikutip sebagai telah
“menyelamatkan” sistem ekonomi kapitalisme dengan “revolusi” pemikirannya, yang
dengan upaya-upayanya benar-benar telah meluluhlantakkan pemikiran-pemikiran
“kuno” yang tidak relevan lagi.
Definisi
ilmu ekonomi Robbins adalah sebagai berikut:
Economics is the science of human behavior as a
relationship between ends and scarce means which have alternative uses.
Terhadap
definisi yang semakin teknis dan “kering” inilah ekonom sosial seperti J.M.
Clark memprotesnya secara keras sehingga merasa perlu melepaskan diri dari
“batas-batas konvensional” yang ditetapkan ilmu ekonomi.
Dalam pada itu Alan
Gruchy, seorang
ekonom sosial lain sampai pada kesimpulan konstruktif dan relevan bagi analisis
ekonomi Indonesia, ketika ia memperkenalkan model ekonomi tiga sektor dalam ekonomi sosial sebagai berikut:
(1) sektor ekonomi negara;
(2) sektor ekonomi swasta oligopoli;
(3) sektor ekonomi swasta persaingan.
Relevansi ekonomi tiga sektor
tersebut bagi Indonesia jelas sekali pada periode ekonomi konglomerasi
(1987-1994), ketika sektor swasta kuat yang formal telah menunjukkan
gejala-gejala oligopoli (bukan monopoli) sehingga pemerintah merasa perlu
“memeranginya” melalui aneka kebijaksanaan DD (Deregulasi-debirokratisasi).
Sementara itu sektor swasta informal termasuk sektor koperasi yang masih
relatif lemah justru harus bekerja dalam sistem persaingan yang kadang-kadang
sangat keras. Krismon 1997 adalah klimaks “perang
ekonomi” antara kepentingan kelompok konglomerat dan kelompokekonomi rakyat,
sedangkan kelompok pertama, konglomerat, yang bersekongkol dengan kekuatan
modal internasional, mendapat bantuan pemihakan dari pemerintah.
Ekonomi
Sosial adalah Ekonomi Kekeluargaan
Apabila kita pahami benar-benar
berbagai pemikiran tentang ekonomi sosial-kelembagaan tersebut di atas, nampak
jelas bahwa pemikiran-pemikiran tersebut relevan sekali dengan cita-cita
ekonomi kekeluargaan yang “diamanatkan” UUD 1945. Sebagaimana bisa kita baca
dalam penjelasan pasal 33 UUD, ekonomi kekeluargaan adalah ekonomi yang
demokratis, dimana kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran
orang-seorang. Dan cara melaksanakan ekonomi yang demikian adalah melalui sistemekonomi
koperasi, ekonomi berdasar kerjasama, bukan ekonomi yang berdasar
persaingan bebas.
Ekonomi kelembagaan adalah
pendekatan ekonomi yang mengakui bahwa dasar perilaku ekonomi tidaklah selalu
merupakan kepentingan-kepentingan yang serasitetapi
justru merupakan kepentingan-kepentingan yang saling bertabrakan. Pendekatan ini secara jujur mengakui adanya kelangkaan (sebagai masalah) dan tidak hanya memandang kelangkaan
itu sebagai data belaka. (Namun) pandangan ekonom kelembagaan adalah bahwa
kelangkaan tidak hanya menimbulkan kemungkinan terjadinya pertentangan, tetapi
juga bisa berupa (ajakan) tindakan kolektif yang membangun tatanan berdasar hubungan saling
ketergantungan. Ekonomi kelembagaan menganggap efisiensi sebagai prinsip yang
bersifat universal, karena ia memecahkan masalah kelangkaan melalui kerja sama … (yang) pasti tidak akan terjadi bila keserasian
kepentingan justru sudah dianggap ada… kerjasama timbul karena kebutuhan akan
terciptanya keserasian baru dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda.
Demikian dari definisi-definisi ekonom kelembagaan yang
bersumber dari J.R. Commons ini, kita melihat secara jelas perbedaan atau
bahkan pertentangan tajam dalam asumsi kedua paham ekonomi, mainstream economics dan social
economics, yaitu pada fungsi dan hasrat akan tercapainya keserasian.Mainstream
economics (ME) yang
mengasumsikan bahwa keserasian akan selalu terjadi, menonjolkan asas persaingan dan menganggapnya sebagai cara-caramemecahkan perbedaan
kepentingan. Sebaliknya social
economics (SE)
menganggap bahwa keserasian merupakan tujuan yang ingin dicapai setiap
masyarakat. Fenomena kelangkaan atas barang dan jasa kebutuhan masyarakat
dipecahkan justru melalui kerjasama antar pelaku-pelaku ekonomi, tidak melalui persaingan. Sikap
hidup, sistem nilai, dan budaya bangsa Indonesia yang berideologi Pancasila harus diakui lebih dekat pada aliran
ilmu ekonomi sosial (SE) yang mementingkan keserasian sosial sebagai tujuan
hidup manusia. Dan apabila hal ini disetujui, maka jelas bahwa semangat ekonomi
yang berasas kekeluargaan bagi bangsa Indonesia bukanlah satu ilusi tetapi
benar-benar hidup dan sudah dipraktekkan dalam kehidupan riil ekonomi rakyat.
Adalah menarik bahwa kecintaan manusia terhadap sesama
justru lebih dulu ditegaskan Adam Smith dalam The
Theory of Moral Sentiments (1759),
17 tahun sebelum sifat-sifat manusia sebagai homo
economicus ditekankan
tahun 1776.
Man it has been said, has a natural love for society, and
desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and
though he himself was to derive no benefit from it (Smith, 1759: Ch. III).
Ilmu ekonomi (economics) yang diajarkan kepada
mahasiswa Indonesia sejak medio limapuluhan yang didasarkan pada asumsi persaingan pasar sempurnaterbukti
tidak cocok (tidak realistis) untuk menggambarkan perilaku ekonomi manusia
Indonesia. Jika rasionalitas
ekonomi ini di
dunia Barat pun sudah dipertanyakan, adalah aneh jika kita di Indonesia
bersikukuh dengan ajaran ekonomi Neoklasik konvensional ini. Ilmu ekonomi yang
benar yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah ilmu ekonomi koperasi,
bukan ilmu ekonomi
persaingan. Jika di Bandung kini ada Institut
Manajemen Koperasi Indonesia maka
di masa datang harus benar-benar diubah menjadi Institut Ilmu Koperasi Indonesia.
thanks infonya
BalasHapus