Minggu, 06 November 2011

Tugas Ilmu Budaya Dasar (softskill) - Makanan Khas Indonesia



BIKA AMBON
Bika ambon menjadi kuliner ringan yang tak hanya khas dirasa, namun juga unik dinama. Ia dikenal sebagai ciri khas kota Medan, Sumatera Utara, meski namanya bika ambon, bukan bika Medan.
Semasa Belanda masih ada di Tanah Deli, seorang Tionghoa melakukan eksperimen dengan sebuah kue. Ia melakukannya di rumah, tak jauh dari kawasan Jalan Majapahit, Medan. Setelah matang, kue tersebut lalu dicobakan pada pembantunya, seorang pria asal Ambon. Pria tersebut sangat menyukai kue itu, hingga memakannya dengan lahap. Kemudian dinamakanlah bika ambon.
Bika ambon ini sangat enak dan kenyal bila dimakannya. Bika ambon mempunyai banyak varian rasa yaitu original, pandan, durian, keju, dan masih banyak lagi
Ingredients:
Bahan A:
100 gram tepung terigu protein sedang
200 ml air kelapa segar
11 gr ragi instant
Bahan B:
16 btr kuning telur
400 gram gula pasir
300 gram tepung sagu tani
600 ml santan kental matang
1 sdt garam
1 sdt vanilli
How-To:
  • Aduk bahan A sampai rata,diamkan selama 15 menit.
  • Aduk rata:telur,gula,garam dan vanilli,lalu masukkan bahan A,dan tepung sagu,aduk rata sambil tuangi santan sedikit demi sedikit sampai santan habis. Saring.
  • Istirahatkan selama 2 jam.
  • Tuang adonan kedalam cetakan kotak ataupun oval yang telah dipoles minyak tipis-tipis.
  • Panggang dalam oven panas yang pintunya setengah dibuka,sampai matang.


Catatan untuk dirikuw sang newbie in the kitchen:
  • Buat biangnya terlebih dulu,yaitu Bahan A
  • Untuk membuat santannya gunakan dua buah kelapa tua. Ambil santan kentalnya saja. Masak dengan api kecil hingga agak berminyak,masukan daun pandan,daun jeruk dan serai lalu disaring,supaya kuenya wangi
  • Katanya tepung sagu yang paling bagus untuk bikin bika ambon namanya tepung sagu ubi (packingnya kertas putih tebel tulisannya “Sagu Obi”).
  • Tiap menambahkan santan ke dalam adonan,aduk pelan-pelan. Aduk lagi setelah bahan A masuk.
  • Jangan lupa panaskan dulu loyang bika ambonnya ya,kalo lupa ntar sarangnya gak bisa terbentuk. Tandanya loyang sudah panas,waktu adonan dituang ke dalam loyang terdengar suara mendesis.
  • Adonan bika ambon ini dipanggang dengan suhu yang rendah,makanya disarankan agar mengganjal pintu oven supaya terbuka sedikit atau bisa juga menggunakan loyang yang atasnya bolong-bolong. Kalo ovennya terlalu panas,jadinya bika ambon bantet …hehehe
  • Kalo mau atasnya berwarna kecoklatan,gunakan api atas sebentar saja kalo bikanya sudah matang ya…



Sabtu, 08 Oktober 2011

ILMU BUDAYA DASAR (softskill)


Sumatera Selatan sudah di diami manusia sejak zaman purbakala. Bukti-bukti sejarah masa lampau itu antara lain berupa situs-situs megalit dalam berbagai bentuk dan ukuran yang dapat disaksikan baik di museum maupun di alam terbuka. Peninggalan kebudayaan megalit itu merupakan hasil kreasi seni pahat para nenek moyang terdiri dari arca-arca batu berbentuk manusia, binatang, menhir, dolmen, punden berundak, kubur batu, lumpang batu, dan sebagainya yang berukuran kecil sampai raksasa.
Bukti-bukti peradaban pada masa 2.500 – 1.000 tahun Sebelum Masehi tidak hanya mengesankan bagi wisatawan asing maupun domestic, tetapi juga para ahli yang acap kali dating melakukan penelitian ilmiah. Di alam terbuka, situs-situs megalit itu sebagian besar terdapat di Kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu dan Muara Enim. Keberadaan benda-benda itu telah melahirkan berbagai legenda dan mitos dikalangan masyarakat Sumatera Selatan. Di antaranya Legenda Si Pahit Lidah yang karena kesaktiannya mampu membuat apapun yang tidak disukainya menjadi batu.
Dalam abad ke-7 -13 Masehi, Sumatera Selatan merupakan pusat kekuatan kerajaan Sriwijaya dan Palembang sebagai Ibukota Kerajaan. Di masa jayanya, Sriwijaya di kenal sebagai pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan mengenai agama Buddha di Asia Tenggara. Pada saat itu kerajaan Sriwijaya dengan kekuatan armadanya yang tangguh, selain menguasai jalur perdagangan dan pelayaran atara Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia, yang telah menjadikan daerah ini sentra pertemuan antar bangsa.
Hal ini telah menimbulkan transformasi budaya yang lambat laun berkembang dan membentuk identitas baru lagi di daerah ini. Tranformasi budaya ini terjadi pula dengan masuknya pengaruh Islam, terutama pada saat Sumatera Selatan dibawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam sejak awal abad ke-15. Sebagian besar penduduk Sumatera Selatan sendiri sudah menganut agama Islam sebelum Kesultanan Palembang Darussalam berdiri. Beragam faktor yang mempengaruhi sejarah perkembangan masyarakat di Sumatera Selatan itu telah menimbulkan asimilasi di daerah ini, baik dalam tradisi, seni maupun aspek-aspek lain dalam kehidupan.



Meski lebih dahulu dikenal di Tiongkok, lakuer menjadi salah satu bagian seni khas yang tak terpisahkan. Bahkan, lakuer menjadi salah satu kerajinan yang men-dominasi para warga Palembang pada era kesultanan Palembang Darussalam.

Lakuer identik dengan kerajinan halus khas Palembang yang melekat pada bendabenda, seperti mebel, piring hias,kotak (tepak) sirih.Lakuer identik dengan kuning yang menjadi pelapis hiasan dengan sapuan cat merah, hitam, dan keemasan hingga terlihat mencolok. Banyak masyarakat Palembang menamai hiasan pewarna tersebut dengan istilah lak atau lakuer, walaupun nama lak lebih kental dengan istilah lemari ukir Palembang. Dari beberapa referensi, diketahui nama lakuer diadopsi dari istilah bahasa Inggris lacquer, yaitu bahan damar yang dihasilkan oleh sejenis serangga bernama Laccifer lacca.Tumbuhan tersebut merupakan tempat bertenggernya serangga dan banyak ditemukan di Jepang, Tiongkok, dan Pegunungan Himalaya.

Di Sumatera Selatan, pohon tersebut dikenal dengan nama pohon kemalo. Pekerja kebudayaan Palembang Febri Al Lintani mengatakan, hingga kini belum diketahui pasti awal mula munculnya seni lakuer. Namun, dari beberapa referensi serta melihat corak yang digunakan, kemungkinan besar dimulai pada era Kesultanan Palembang Darussalam. “Meski belum ada penelusuran sejarah yang pasti,dapat dipastikan telah terjadi pertukaran dan serapan budaya Tiongkok dengan budaya Palembang. Pada era Kesultanan, hampir setiap lelaki memiliki keahlian mengukir dan perempuan punya keahlian menenun songket,”ungkap Febri. Sayangnya,kata Febri,saat ini potensi mengukir dan mengecat peralatan rumah tangga tersebut tidak lagi mendominasi para lelaki Palembang.

Namun, keahlian menenun songket hingga kini masih bertahan. Saat ini budaya memiliki peralatan rumah tangga yang di cat dan dipoles dengan menggunakan lakuer masih dipertahankan, tetapi para warga asli Palembang telah kehilangan keahlian memoles menggunakan lakuer ini. “Dari adat dan budayanya, kita ketahui orang Palembang asli suka mempertontonkan peralatan rumah tangganya pada para tetamu. Biasanya, mereka akan menunjukkan peralatan rumah tangga mereka yang bagus dan khas pada hari besar keagamaan atau Lebaran,”kata dia. Keahlian menggunakan lakuer ini pada perabotan rumah tangga tersebut tidak dijadikan profesi oleh para warga Palembang yang hidup pada masa kesultanan.

Dari catatan sejarah, wong Palembang memang senang mempertontonkan berbagai macam barang yang terbuat dari bahan lapis emas, khususnya pada saat hari-hari besar keagamaan atau hari khusus keluarga. Senada diungkapkan Suharno, salah seorang perupa di Palembang. Menurut dia, lakuer sebenarnya lebih pada penggunaan seni terapan untuk bisa melapisi benda-benda rumah tangga. Secara teknis, barang yang dilapisi tersebut akan semakin bagus dan mengilap warnanya jika di lapisi terus-menerus. Dia mengungkapkan, dari sejarahnya, lakuer banyak digunakan para pengukir Tiongkok. Namun, ilmu terapan tersebut kemudian muncul dan menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat Palembang pada era Kesultanan.

“Sebab, bahan tersebut telah lebih dahulu digunakan oleh orang Tiongkok, dilihat dari warna merah dan kuning yang berada pada ukiran keramik, pintu dan sebagainya,” kata Suharno. Lakuer memang identik dengan kuning dan biasanya lapisan kayu tersebut telah dicat dulu dengan merah hingga tampak sangat mewah. Namun, yang membedakan antara seni lakuer Palembang, penggunaan bahan dan hasilnya sangat halus. Meski kurang mendapat perhatian dari para pelukis atau perupa, menurut Suharno, lakuer dapat menjadi bahan seni khas yang cukup menarik untuk dikembangkan.

“Perbedaan mencolok lainnya, sebenarnya bukan terletak pada warna kuning yang mendominasi. Tetapi, corak ukiran yang berbentuk daun dan bunga khas Palembang yang sangat kental dengan nuansa keislaman,”ujar dia. Hal itu terjadi sejak para sultan dan bangsawan pada era kesultanan, sangat tertarik dengan kerajinan seni hias lakuer. Dalam proses pembuatannya, perajin mengoperasikan bubut untuk membentuk sebongkah kayu menjadi bulat atau silindris. Sedangkan, bentuk kotak atau dinding pemisah (sketsel) tak perlu pembubutan, cukup dengan membentuknya dari bilah-bilah papan. Kayu yang terbaik untuk bahan baku dahulunya menggunakan kayu mahoni, tapi untuk saat ini perajin mulai beralih ke tambesu karena mahoni sulit didapat. Motif hiasannya ciri islam di dominasi oleh daun, dan tumbuhan.

Sementara,gambar pahatan makhluk hidup tidak di-kenal dalam hiasan tersebut. Mantan Rektor IAIN Raden Fatah Palembang Jalaluddin mengungkapkan,kebudayaan China sebenarnya sudah sangat mendominasi kebudayaan Palembang. Karena pertukaran kebudayaan tersebut telah lama terjadi antara Pulau Andalas atau Sumatera dengan China.Pertemuan tersebut juga terjadi pada era Melayu kuno, kemudian menuju Kerajaan Sriwijaya.Kemudian dari era kebesaran Sriwi-jaya menuju pada era Kesulta-nan Palembang Darussalam.

Di sela-sela masa kevakuman kekuasaan tersebut, kebudayaan China cukup memberi pengaruh lewat warna merah dan kuning yang merupakan perlambang kemewahan saat itu. “Memang tidak diketahui secara pasti kapan pengaruh lakuer yang berasal dari China itu masuk dalam kebudayaan Palembang.Tapi hampir di pastikan, telah terjadi pertemuan dan pengaruh kebudayaan China di beberapa era tersebut,” kata Jalaluddin. Namun, dapat dipastikan lakuer sendiri berasal dari China dan telah lama dipergunakan orang Tiongkok pada masa itu,jauh sebelum era Kesultanan Palembang Darussalam. Yang menjadi khas dari lakuer, kata Jalaluddin, motif ukiran yang bernuansa tumbuh-tumbuhan sangat kental dengan ciri khas Islam. “Lakuer itu dari China.Kalau dari China artinya orang China yang menggunakannya.

Cuma motifnya sangat kental dengan Islam. Untuk karya ukiran mungkin pengaruh Jawa,”kata dia. Jalaluddin mengharapkan masyarakat Palembang dapat terus mengembangkan dan menjaga kebudayaan tersebut karena merupakan bagian dari kekuatan kebudayaan masyarakat Islam yang harus di lestarikan. Sebab, saat ini hanya sedikit sekali perajin seni lakuer yang masih melakukan pekerjaan tersebut di Kota Palembang.